KOTA GORONTALO - Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, diminta tidak mencampuri urusan internal Partai NasDem. Selain tindakan itu bisa dimaknai tidak beretika secara politik oleh pengurus dan kader Partai NasDem. Tindakan itu juga memberi kesan, gubernur kurang memahami batasan fungsi dan kedudukanya, sebagai kepala daerah. Lantaran penynampaiannya mencampuradukan urusan pemerintahan dengan urusan internal Partai NasDem.
“Pernyataan yang disampaikan melalui Jubirsus (Juru Bicara Khusus,red) Gubernur, adalah sebuah penilaian subjektif. Dan tidak memiliki kaitan dengan substansi sikap politik partai NasDem terkait interpelasi. Sehingga akan sangat disayangkan jika penilaian Gubernur melalui Jubirsusnya itu, bisa menimbulkan kesan adu domba terhadap kader NasDem.” ungkap Direktur Media Center NasDem Gorontalo, Alyun Hippy (22/01/2021).
Semestinya, hasil penilaian terhadap sikap kader NasDem itu, disertai pijakan norma etika politik dan kaidah keilmiahan yang kuat. Sebab Gubernur sebagai seorang khalifah yang sudah diberikan gelar adat Gorontalo, harus bisa menjaga tutur katanya.
“Sangat disayangkan, jika penilaian yang disampikan Gubernur sebagai tokoh yang sudah menyandang gelar adat Gorontalo, membuat pernyataan yang over lapping,” tambah Alyun.
Sebagaimana diberitakan media berita online, anggota DPRD Provinsi Gorontalo Adhan Dambea, mengemukakan hak interpelasi kepada Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Terkait adanya temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) yang mengungkap adanya kerugian negara sebesar Rp. 43,3 Miliar pada proyek GORR. Hasil audit BPK itu, menjadi dasar bagi Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk menyeret 4 orang tersangka ke pangadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Gorontalo.
Wacana interpelasi itu, menjadi sorotan publik nasional. Lantaran Majalah Tempo mengungkap adanya aliran dana mencurigakan di nomor rekening Gubernur Gorontalo, yang diperoleh dari laporan intelejen Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Atas hal itu permintaan interpelasi mengemuka dan kemudian menuai kontroversi di kalangan DPRD Provinsi Gorontalo. Fraksi Golkar dan Fraksi PPP menyatakan sikap menolak wacana interpelasi itu. Dengan alasan proses hukum atas perkara dugaan tindak pidana korupsi itu sedang berlangusng di pengadilan Tipikor Gorontalo.
Fraksi NAsDem sebagai perpanjangan tangan Partai NasDem di DPRD Provinsi Gorontalo, masih akan mengkaji dukungan terhadap penggunaan hak interpelasi yang diajukan anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Adhan Dambea.
Berselang beberapa hari, setelah Penyampaian Ketua Fraksi NAsDem Yuriko Kamaru, Ketua Organiasi dan Kader Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Provinsi Gorontalo, Ridwan Monoarfa, menyampaikan sikap dukungan politik Partai NasDem atas pengajuan hak interpelasi oleh anggota DPRD itu.
Pernyataan itu, yang kemudian direspon Gubernur Gorontalo melalui Jubirsus, dengan pernyataan yang subjektif, dan tidak berdasar pada substansi interpelasi itu sendiri.
“Yuriko Kamaru jelas lebih memahami persoalan karena dirinya terpilih menjadi anggota DPRD. Yuriko mengerti mekanisme yang berjalan di DPRD, Yuriko tidak mau mempermalukan lembaga wakil rakyat. Yuriko dalam keadaan sadar mengetahui bahwa perkara dugaan korupsi GORR sedang berproses di pengadilan dan tidak mau menuduh orang lain sebagai tersangka”. Kata Noval saat diwawancarai oleh awak media.
“Ridwan Monoarfa mungkin belum tau bahwa pemerintah provinsi gorontalo tujuh kali berturut-turut menerima WTP, banyak mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat khususnya dimasa pandemi, soal dugaan korupsi juga bisa saja dirinya tidak paham proses peradilan hukum dan mekanisme sistem pemerintahan”. Kata Noval menambahkan.
Terkait dengan peryataan Gubernur Gorontalo melalui Jubirsurnya itu, Alyun menjelaskan. Proses hukum di Pengadilan Tipikor dan pengajuan hak interpelasi anggota DPRD. Adalah dua ranah yang berbeda.
“Proses hukum Kasus Dugaan Korupsi 43,3 Miliar di pengadilan Tipikor, berkaitan dengan penerapan hukum pidana. Sementara penggunaan hak interpelasi oleh Anggota DPRD berkaitan dengan penerapan hukum tata negara. Ini dua norma hukum yang berbeda tempatnya. Jangan dicampur aduk, sehingga membuat kebingunan di kalangan masyarakat,” jelas Alyun.
Alyun menambahkan, pengajuan interpelasi itu, tujuannya untuk perbaikan terhadap tata kelola pemerintah dan memberikan kepastian hukum maupun politik, atas sejumlah produk hukum daerah yang sudah dihasilkan oleh DPRD Provinsi Gorontalo bersama eksekutif. Terlebih dengan adanya temuan BPK-RI atas dugaan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 43,3 Miliar pada APBD Provinsi Gorontalo yang telah digunakan untuk mebiayai proyek GORR.
Biaya Pembebasan lahan GORR (objek perkara korupsi, red), dilakukan bertahap. Menggunakan APBD Provinsi Gorontalo Tahun anggaran, 2013, 2014, 2015, 2016. Pemanfaatan dana APBD ditahun berkenaan itu, sudah di pertanggung jawabkan oleh Gubernur dihadapan sidang paripurna DPRD. Sehingga DPRD bersama eksekutif, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atas Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ,red) Gubernur.
"Dengan adanya temuan BPK-RI terkait adanya dugaan kasus korupsi pada APBD ditahun berkenaan itu, otomatis Perda LKPJ itu patut dipertanyakan. Sebab ada penggunaan dana APBD yang sudah dipertanggungjawabkan dan di Perdakan bertentangan dengan hasil temuan BPK-RI, sehingga Interpelasi itu menjadi penting untuk dilakukan oleh DPRD.” Jelas Alyun.
Permintaan interpelasi itu, juga bukan hanya meminta keterangan kepada Gubernur. Melainkan juga kepada BPK-RI. Permintaan keterangan kepada BPK-RI untuk memperjelas penilaian predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK-RI terhadap LKPJ Gubernur atas pemanfaatan dana APBD Provinsi Gorontalo, yang terkait dengan pelaksanaan Proyek GORR.
“BPK-RI menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebelum LKPJ Gubernur di sampaikan dihadapan sidang paripurna DPRD Provinsi Gorontalo. DPRR menerima LKPJ Gubernur lantaran, sudah diperiksa oleh BPK-RI dengan status tidak ada masalah. Namun mengapa, setelah Kejaksaan menyelidiki proyek GORR, menemukan masalah. Sementara penentuan besar nilai kerugian keuangan negara yang digunakan oleh Kejaksaan diperoleh dari hasil audit BPK-RI itu sendiri. Karenanya keanehan keanehan itulah, maka untuk menjaga reputasi DPRD sebagai lembaga pengawas perlu melakukan interpelasi. Untuk mengurai kejanggalan-kejanggalan itu,” tutup Alyun.