JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Rachmad Gobel, mengatakan, kisruh perdagangan minyak goreng merupakan bentuk kekalahan dan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Simbol kekalahan itu ditunjukkan oleh pernyataan Menteri Perdagangan.
“Seperti dikutip media, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui tidak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan,” ujar Gobel dalam keterangannya, Jumat (18/3).
Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengatakan sejak Desember 2021, terjadi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Pemerintah kemudian menetapkan batas atas harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan (Rp14 ribu per liter) dan minyak goreng curah (Rp11,5 ribu per liter). Pemerintah juga memberikan subsidi agar harga minyak goreng tetap terjangkau masyarakat.
"Namun terjadi kelangkaan minyak goreng. Bahkan masyarakat harus berebut untuk mendapatkan minyak goreng subsidi yang dijual melalui minimarket dan supermarket," jelas Gobel.
Ditambahkan, masyarakat juga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng subsidi melalui operasi pasar yang dilakukan sejumlah pihak. Bahkan akibat antre ini, ada warga yang meninggal setelah mengalami sesak napas.
"Atas kelangkaan ini, Kementerian Perdagangan bahkan menuduh ibu-ibu menimbun minyak goreng di dapur. Akhirnya, mulai Kamis (17/3) pemerintah mencabut ketentuan HET dan menyerahkan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar, sedangkan untuk minyak goreng curah dikenakan HET Rp14 ribu per liter," papar Gobel.
Setelah pengumuman itu, tambahnya, tiba-tiba minyak goreng hadir berlimpah di minimarket dan supermarket dengan harga sekitar Rp22 ribu hingga Rp 24 ribu per liter.
“Kondisi ini menunjukkan negara kalah dan didikte oleh situasi. Indonesia adalah negara penghasil CPO dan minyak goreng terbesar di dunia. Jadi tidak ada masalah dengan produksi. Yang jadi masalah adalah meningkatnya permintaan dunia sehingga harga naik," terang Gobel.
Masih menurut Gibel, para pengusaha lebih memilih menjual produksinya keluar negeri dengan harga lebih mahal daripada menjual ke dalam negeri dengan harga yang diatur pemerintah.
"Ini yang menjadi penyebab kelangkaan. Jadi bukan ditimbun ibu-ibu seperti pernyataan pejabat Kemendag yang asbun itu. Terbukti setelah batasan harga dihapus, minyak goreng berlimpah lagi,” tegas Gobel.
Sebelum ada gejolak harga, tambahnya, minyak goreng kemasan di tingkat konsumen dijual di dengan harga sekitar Rp9 ribu per liter. Kini harga berkisar antara Rp22 ribu hingga Rp 24 ribu per liter.
“Hampir tiga kali lipat kenaikannya. Ini keuntungan yang berlimpah dan berlebihan,” katanya.
Gobel mengatakan, pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Saat ini, di masa pandemi, masyarakat sedang menderita. Data statistik menunjukkan angka kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan kesenjangan kaya-miskin melebar.
"Dengan melejitnya harga minyak goreng berarti seperti jatuh tertimpa tangga pula. Secara sosial-ekonomi ini juga berarti tersedotnya uang dari bawah ke atas. Ini akan sangat membahayakan bagi ketahanan nasional,” katanya.
Lebih lanjut Gobel menyatakan, produsen harus diajak untuk bertanggung jawab terhadap ketersediaan barang di pasar dan juga dalam menentukan harga.
“Minyak goreng itu masuk ke dalam barang strategis, bukan seperti barang-barang kebutuhan sekunder maupun tersier seperti kendaraan dan elektronika. Sehingga industri pangan bahan pokok bukan sekadar dilihat dari sisi investasi tapi bagian dari partisipasi dalam pembangunan. Jadi harga bahan pokok, termasuk minyak goreng, jangan dilepas ke pasar,” katanya.
Gobel menegaskan, Negara harus berpihak ke rakyat. Negara harus melindungi rakyat. Negara harus mencegah pemiskinan. Negara harus memakmurkan warganya. Jadi bukan melakukan hal yang sebaliknya.
Legislator NasDem ini juga mengatakan, masalah harga minyak goreng hanya butuh keberanian, ketegasan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendekatan kemanusiaan pemerintah terhadap produsen minyak goreng dan produsen CPO.
“Tugas pemerintah mengatur dan bertindak di lapangan, bukan cuma ngomong dan mondar-mandir. Jangan jadi macan kertas dan jangan menjadi macan ompong. Pencabutan HET minyak goreng kemasan dan menaikkan HET minyak goreng curah sama saja membiarkan masyarakat kecil disorong untuk bertarung melawan raksasa pengusaha,” pungkasnya.(Nasihin/*)